UNCUT

 


Komentar

  1. “Gue nggak pernah nyangka toilet mall jadi tempat gue jatuh ke lubang gelap ini. Semuanya bermula simpel. Gue lagi kencing, pintu toilet kebuka, masuk seorang koko-koko gendut dengan hoodie hitam. Wajahnya bulat, matanya kayak nyari sesuatu. Gue nggak peduli… sampai dia berdiri di urinoir sebelah, sengaja ngeluarin barangnya.

    Barang itu… belum sunat. Kulitnya menggantung, gerakan tangannya lambat, seperti ngajak gue masuk dunia yang harusnya gue jauhi. Gue kaget, badan gue kaku. Tapi ada sesuatu di otak gue yang bilang, ‘Liat sebentar nggak apa-apa.’ Dan gue liat.

    Hari itu gue keluar dengan tangan gemetar, dada sesak, tapi ada rasa aneh di bawah perut gue. Rasa yang bikin gue balik lagi.

    Setiap gue masuk toilet itu, dia selalu ada. Duduk di bilik, mata mengintip celah. Kadang berdiri di wastafel, pura-pura main HP. Kita nggak pernah janjian, tapi seolah ada ikatan tak kasat mata yang narik gue ke sana.

    Sampai suatu hari, dia nggak lagi nunggu di bilik. Dia udah ada di urinoir, tangan gemuknya main di bawah hoodie. Mata kita ketemu. Gue nggak nolak waktu dia tarik tangan gue, bisik: ‘Bilik pojok. Sekarang.’

    Di bilik itu, dunia luar lenyap. Nafas kami kasar, tubuhnya besar menekan gue ke dinding. Tangannya lembek tapi kuat. Suara desahan dia bercampur dengan rasa bersalah gue. Gue nggak ngerti ini apa—jijik, nikmat, atau dosa?

    Begitu selesai, gue liat diri gue di kaca toilet. Wajah gue pucat, mata kosong. Gue bisik ke bayangan gue sendiri: ‘Lo harus berhenti.’ Tapi di dalam hati, gue tau besok gue bakal balik lagi.”

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

LONG AND BIG