KOKO NDUT
Aku menatap layar ponsel cukup lama sebelum akhirnya membalas pesannya. Pesan yang singkat, tapi selalu mengundang rasa yang sama setiap kali: deg-degan, penasaran, dan sedikit rasa bersalah yang tak pernah benar-benar kutanggung. “Aku di Jakarta. Hotel biasa,” tulis Koko Endud. Tanpa emoji, tanpa basa-basi. Dan aku pun segera beranjak, seolah langkahku sudah tahu ke mana harus menuju bahkan sebelum hatiku mengizinkannya. Sesampainya di kamar hotel, pintunya terbuka sedikit—sebuah kebiasaan yang ia lakukan jika tahu aku akan datang. Bau sabun hotel dan aroma tubuhnya yang hangat langsung menyambut saat aku masuk. Koko Endud sedang duduk santai di sofa, mengenakan kaus tipis yang menempel pas di tubuh besar dan bersihnya. Kami tidak langsung bicara. Tatapannya cukup. Senyumnya menyambut. Ada hal-hal yang tak perlu dijelaskan di antara kami, karena pertemuan kami selalu seperti itu: sebentar, diam-diam, tapi dalam cara anehnya, selalu terasa cukup.